Mengungkap Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK Bersama Ruang Publik KBR dan NLR Indonesia
Memasuki usia 77 tahun Indonesia merdeka ternyata masih banyak tanya yang tersisa. Salah satunya adalah apakah benar makna kemerdekaan hakiki itu sudah dirasakan oleh seluruh komponen masyarakat di negeri ini? Bagaimana dengan para OYPMK (Orang Yang Pernah Mengalami Kusta) dan penyandang dissabilitas lainnya? Faktanya, meski sudah ada regulasi dan undang-undang yang melindungi hak-hak mereka, namun rantai deskriminasi itu masih juga ada.
Ya, penyandang dissabilitas baik yang disebabkan oleh kusta ataupun dissabilitas lainnya hingga hari ini masih terjebak dalam lingkaran deskriminasi. Ini menjadi hambatan tersendiri bagi komponen masyarakat ini mengekspresikan diri di lingkungan. OYPMK, meski meraka sudah melewati semua rangkaian pengobatan dan dinyatakan sembuh, namun status sebagai penyandang kusta tetap akan melekat pada dirinya seumur hidup. Sehingga potensi untuk dibully, dikucilkan, dianggap berbeda dan dideskriminasi selalu membayang-bayangi kehidupan mereka. Ini adalah pangkal dari semua problem yang dihadapi oleh OYPMK.
Tak jarang OYPMK dan penyandang dissabilitas menghadapi berbagai kesulitan dalam hidupnya dikarenakan keterbatasan dan kurangnya dukungan sosial dari masyarakat. Ini menjadi bukti bahwa OYPMK dan penyandang dissabilitas lainnya kehilangan kebebasan dan kemerdekaan dalam pemenuhan hak hidup inklusif di tengah-tengah masyarakat.
Di momen bulan kemerdekaan Republik Indonesia ini kembali terbersit tanya bagaimana OYPMK memaknai kemerdekaan? Upaya apa yang bisa dilakukan oleh orang-orang terdekat dan masyarakat luas untuk mendukung OYPMK dan penyandang dissabilitas mendapatkan kemerdekaannya?
Untuk menjawab semua tanya tersebut Ruang Publik KBR bekerjasama dengan SUKA Project NLR Indonesia menghadirkan talkshow online bertema ‘Makna Kemerdekaan Bagi OYPMK, Seperti Apa?’ pada Rabu (24/8/2022). Talkshow yang ditayangkan secara live streaming oleh chanel youtube Berita KBR ini menghadirkan dua narasumber, yakni Dr. Mimi Mariani Lusli (Direktur Mimi Institute) dan Marsinah Dhede (OYPMK, Aktivis Difabel dan Perempuan).
Gambaran Kondisi Umum Psikologis Pada OYPMK
“Ketika orang tau ia mengalami dissabilitas baik karena kusta ataupun bukan karena kusta seringkali mengalami shock terapi. Seperti saya sendiri ketika saya tau mengalami kebutaan, saya langsung shock. Wah ini sudah tidak ada masa depan nih. Stigmatisasi pada diri sendiri seketika muncul,” Dr. Mimi menjelaskan panjang lebar tentang gambaran kondisi psikologis yang dialami oleh OYPMK dan kaum difabel pada umumnya.
Tidak berhenti sampai di situ, perasaan-perasaan negatif lainnya pun bermunculan. Seperti merasa tidak berguna lagi, merasa menjadi beban keluarga, merepotkan orang lain bahkan sampai merasa tidak tau mau ngapain. Hal-hal inilah yang akan memunculkan gangguan psikis pada teman-teman OYPMK dan penyandang dissabilitas lainnya.
“Apalagi ketika stigmatisasi itu muncul dari masyarakat yang mempertebal stigma dalam diri kami, tidak adanya dukungan dari masyarakat hingga regulasi yang tidak berpihak pada penyandang dissabilitas, itulah yang akan membuat kami (kaum difabel) semakin cemas, khawatir, stress pada masa depan.” Lanjut Dr. Mimi.
Dr. Mimi sendiri adalah seorang penyandang dissabilitas tunanetra sejak usia 17 tahun. “Ketika dokter pertama kali memvonis saya buta, dunia rasanya seketika runtuh,” cerita Dr. Mimi mengenang awal pertama kali mengalami kebutaan.
Mimi Institute sendiri merupakan sebuah lembaga dengan visi Mainstreaming Disability for Better Life. Melalui lembaga ini Dr. Mimi ingin tercipta interaksi yang baik antara masyarakat dengan kaum difabel secara akses.
Selama 13 tahun berdiri, Mimi Institute sudah menghadirkan beragam kegiatan positif seperti konsultasi, edukasi untuk anak-anak berkebutuhan khusus, edukasi kepada masyarakat melalui kegiatan seminar, publikasi dalam bentuk penulisan buku dan modul untuk memberi edukasi pada masyarakat tentang apa itu dissabilitas dan bagaimana cara berinteraksi yang akses dengan para penyandang dissabilitas.
Faktor Utama Penyebab Guncangan Psikologis Pada OYPMK
Menurut Dr. Mimi penyebab utama terjadinya guncangan psikologis pada OYPMK adalah pengetahuan yang kurang dan informasi yang salah tentang kusta dan apa itu dissabilitas. Contohnya kusta, seringkali dipahami orang sebagai penyakit kutukan, penyakit menular, tidak bisa disembuhkan, penyakit keturunan dan lainnya. Ternyata pemahaman ini salah semua.
Nah, pemahaman yang salah dan informasi yang keliru ini diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sehingga ketika ada anggota keluarga yang terjangkit kusta, spontan stigma negatif itu muncul. Wah ini penyakit keturunan nih, ini kutukan nih, padahal stigma itu salah semua. Nah, berawal dari pengetahuan yang kurang tepat ini pada akhirnya muncullah ejekan, pengucilan, bullyan, penolakan, deskriminasi dan lainnya karena masyarakat takut tertular. Dan orang yang menderita kusta juga khawatir menularkan penyakitnya pada orang lain.
Demikian juga pada dissabilitas lainnya. Seringkali orang yang dissabilitas dianggap kotor, rusak dari kepala sampai kaki dan lain sebagainya. Padahal tidak seperti itu. Dissabilitas hanyalah masalah perbedaan konsep dalam berinteraksi. Bukan masalah keterbatasan, kerusakan dan ketidak sempurnaan.
Cara Untuk Memberikan Dukungan pada OYPMK dan Penyandang Dissabilitas
Pembicara kedua Marsinah Dhede bercerita tentang pengalamannya sebagai penyintas kusta. Dhede mengalami kusta pada sekitar usia 8 atau 9 tahun. Dia mengidentifikasi sendiri gejala kusta yang ditemui pada bagian tubuhnya yang ia cocokkan dengan informasi yang diperolehnya melalui siaran radio pada waktu itu. Seperti beberapa bagian kulit yang menebal, memutih berbeda dengan kulit bagian lain, dan tidak berasa.
Berbekal informasi yang terbatas tersebut Dhede kemudian meminta kepada kedua orang tuanya agar diantarkan ke puskesmas. Dan hasil pemeriksaan puskesmas kemudian membenarkan bahwa ia terjangkit kusta.
Namun Dhede beruntung karena mendapatkan dukungan penuh dan rangkulan dari keluarga. Tidak ada permasalahan ataupun penolakan dari keluarga, sehingga ia bisa hidup normal dan nyaman dalam keluarga. Permasalahan itu baru muncul ketika ia melangkah keluar dari rumah. Dia tidak bisa menghindari stigma negatif dari lingkungan, seperti dibully, dijauhi, dikucilkan hingga tidak diterima oleh lembaga pendidikan di tempatnya.
Berangkat dari pengalaman masa kecil tersebut, Dhede menyebutkan minimal ada tiga poin penting yang perlu ada untuk mendukung OYPMK dan penyandang dissabilitas lainnya bisa merasakan kemerdekaan kembali berinteraksi dalam masyarakat.
- Dukungan yang kuat dan rangkulan yang hangat dari keluarga
Keluarga adalah support system terbesar bagi OYPMK agar bisa kembali percaya diri bersosialisasi dengan lingkungan. Ketika di luar mereka dikucilkan, dipandang aneh bahkan dibully maka kehadiran keluarga sangat diperlukan. Di sinilah keluarga sangat berperan dalam memberikan rangkulan dan membangkitkan semangat bagi OYPMK.
- Berikan pendidikan yang layak
Bagi OYPMK dan penyandang dissabilitas yang masih usia sekolah sangat penting untuk diberikan pendidikan yang layak. Penyandang dissabilitas juga berhak mendapatkan layanan pendidikan yang layak dan inklusif. Kesempatan-kesempatan ini tentu saja akan menaikkan rasa percaya diri dan mengikis stigma negatif pada diri mereka.
- Libatkan para penyandang dissabilitas dalam aktivitas masyarakat, jangan dikucilkan.
Ini tentunya harus diawali dengan adanya edukasi dan pemahaman yang benar tentang OYPMK dan dissabilitas. OYPMK dan kaum difabel juga harus berani keluar dan bersuara di tengah masyarakat. Seperti saran Dr. Mimi pada para penyandang dissabilitas agar lebih berani mendekatkan diri pada masyarakat. “Jika orang tidak mau mendekat, justru kita yang harus mendekat. Berikan pengertian dan edukasi yang benar tentang OYPMK dan dissabilitas.”
Penutup
Memang tidak cukup waktu satu jam untuk edukasi dan sosialisasi tentang OYPMK dan dissabilitas secara umum. Jadi, seperti apa makna kemerdekaan bagi OYPMK? Terbebas dan stigma negatif dan penerimaan dari masyarakat. Untuk itu diperlukan edukasi dan sosialisasi yang benar di tengah-tengah masyarakat tentang penyakit kusta dan dissabilitas secara umum. Tiga poin penting yang perlu ada agar OYPMK bisa merasakan kemerdekaan adalah (1) dukungan dari keluarga, (2) pendidikan yang layak, dan (3) dilibatkan dalam kegiatan masyarakat. Beri dukungan jangan kucilkan! Kusta bukan kutukan kusta bisa disembuhkan.
18 Comments
Menariik 😍 suami saya juga mengajar ngaji di yayasan tunanetra, pengalamannya begitu menyentuh
ReplyDeleteSemoga semakin banyak yang membaca tulisan ini, agar terbuka banyak pikiran.
ReplyDeleteSetuju Mbak, untuk penyintas kusta memerlukan dukungan keluarga, dan masyarakat untuk sembuh dan sehat kembali.
Setujuuu..Beri dukungan dan jangan kucilkan! Memang perlu edukasi dan sosialisasi yang benar pada masyarakat tentang penyakit kusta dan dissabilitas secara umum, agar OYPMK terbebas dan stigma negatif dan ada penerimaan dari masyarakat.
ReplyDeleteLangsung terbetot ke dr. Mimi. Masya Allah. Apa beliau dokter satu-satunya yang tunanetra Mba? Beruntung sekali beliau langsung dapat circle yang bisa menolong beliau. Sungguh inspiratif
ReplyDeleteIya negara kita belum ramah kaum difabel, akses mereka yang kurang, tatapan mata ketika mereka lewat
ReplyDeleteSemoga negara lebih memperhatikan kaum difabel, sebagai ortu abk saya juga merasa prihatin..ketidakadilan dalam segala hal
ReplyDeleteIn shaa Allah perlahan tp pasti penyandang disabilitas dan mereka yg termasuk OYPMK akan mendapat perhatian dan dilibatkan dlm aktivitas yang sama dengan mereka yg normal dlm merayakan Kemerdekaan NkRI tercinta ini secaran optimal. Aamiin
ReplyDeleteSedih banget rasanya meskipun Indonesia sudah merdeka 77 tahun tapi OYPMK masih terbelenggu stigma dari masyarakat yang sampai saat ini belum hilang padahal Kusta bukanlah penyakit baru. Semoga seiring mudahnya mengakses informasi, masyarakat akan makin sadar bahwa OYPMK sama seperti masyarakat lainnya, bisa beraktivitas untuk mendukung kehidupannya.
ReplyDeletepenyandang OYPMK sangat butuh kemerdekaan, tanpa stigma negatif dari masyarakat. mereka juga berhak bahagia dan bebas
ReplyDeleteYang paling berat bagi OYPMK itu memang beban psikologis ya, stigma buruk yang tertanam kuat di masyarakat. Karena beban psikologis ini lebih berat diatasi dibanding rasa sakit secara fisik.
ReplyDeleteSemoga di momen peringatan kemerdekaan ini, OYPMK maupun para penyandang disabilitas bisa merdeka dari beban psikologis dan stigma buruk ini
Rasanya bagi penyandang disabilitas belum sepenuhnya merdeka ya, masih merasakan ada perbedaan termasuk para OYPMK ini yang kesulitan dalam mencari pekerjaan.
ReplyDeleteDUkungan yang banyak perlu diberikan pada mereka supaya bisa tetap semangat & bertahan. Masyarakat juga jangan merasa takut pada mereka, untuk itu perlu babget adanya edukasi
Penyandang kusta memang tidak boleh dipandang sebelah mata ya kak...semuanya sama..punya kelebihan dan kekurangan...Apalagi kusta kan bisa disembuhkan..sama aja dengan penyakit lain...
ReplyDeleteOYPMK berhak mendapatkan kesempatan, apa yang orang lain dapatkan tanpa dibeda-bedakan.
ReplyDeleteSetujuu yukss kita ikut membantu menyebarkan hal positif di Masyarakat tentang mantan penderita kusta (OYPMK) supaya bisa bekerja dg layak.
ReplyDeleteSemoga dengan bertambahnya usia Indonesia merdeka, para penyandang disabilitas bisa juga merdeka dari stigma negatif ya...
ReplyDeleteSemoga edukasi yang masif dari berbagai pihak mengenai pentingnya menghargai dan tetap memandang para OYPMK dan dissabilitas di dunia pendidikan atau kerja dengan perlakuan yang sama dan mendapatkan hak yang sama pula.
ReplyDeleteSemangat terus bagi teman-teman OPYMK, semoga bisa makin merdeka di ulang tahun Indonesia yang ke-77 ini.
ReplyDeleteKalau ini saya mikirnya.. saya harus tanamkan karakter untuk menghargai orang lain sama anak anak sejak dini, untuk masa depan yang lebih baik. Semoga pemerintah membaca permasalahan ini ya mbak..
ReplyDeleteTinggalkan Komen Ya!